BERBAGAI PENYIMPANGAN SEKSUAL DALAM FASISME
Permusuhan
terhadap perempuan yang telah kita telah sejauh ini sebenarnya merupakan manifestasi kecenderungan
bawah sadar yang kelam. Fasisme menyamakan
perasaan-perasaan seperti cinta, belas kasih dan rasa sayang dengan kewanitaan, dan karenanya dianggap
tercela. Di sisi lain, kecenderungan-kecenderungan seperti suka perang, haus darah dan
kebengisan dipandang sebagai sesuatu
yang khas “kelaki-lakian”, dan karenanya “kejantanan” diangkat ke posisi keramat.
Ketika
mitos fasisme tentang “kejantanan” diteliti lebih dalam lagi, kita akan temukan homoseksualitas tersembunyi di
dalamnya. Ini memang tidak banyak diketahui,
namun hubungan penting antara fasisme dan homoseksualitas dapat ditelusuri hingga ke jaman Sparta kuno.
Dalam
bab-bab awal buku ini, dijelaskan bahwa fasisme dibangun di atas budaya pagan, dan ia muncul berbarengan
dengan klaim kebangkitan kembali paganisme.
Karakteristik paganisme paling tegas adalah tidak adanya patokan moral dan undang-undang yang digariskan Tuhan.
Karenanya, dalam dunia pagan, segala macam
penyimpangan seksual dapat tumbuh dengan subur. Negara-kota Yunani kunolah yang mengangkatnya hingga ke
posisi tertinggi. Di Athena dan Sparta, homoseksualitas
dianggap sebagai sesuatu yang normal, hubungan yang dapat diterima, dan bahkan sebuah kebajikan.
Terutama
di Sparta, nenek moyang fasisme, kepentingan khusus dihubungkan dengan konsep “kejantanan”,
dan atas nama “cinta
sesama manusia”, homoseksualitas diterima secara luas.
Tentara-tentara Sparta percaya bahwa mereka dapat
menambah kekuatan mereka dengan melakukan hubungan seksual satu sama lain. Sejarawan Plutarkh dari Khaeronea,
yang hidup tahun 50-120 M, menulis bahwa “batalion suci” Thebans terdiri dari 150 pasangan
homoseksual. Di Sparta, semua anak
laki-laki yang sehat dimasukkan ke dalam ketentaraan pada usia 12 tahun, dan dengan segera dicabuli oleh
tentara-tentara yang berpengalaman. Mereka percaya bahwa hubungan sesat ini adalah sumber
kekuatan terbesar bagi tentara Sparta dengan
budaya “prajurit” dan
nafsu pertumpahan darahnya.
Budaya
rendah dan menyimpang seperti itu kembali berjaya lewat gerakan neopagan abad ke-19. Dan, pusat utama
penyimpangan ini adalah bangsa Jerman. Pemimpin
gerakan ini, Adolf Brand, mendirikan Gemeinschaft der Eigenen (K
omunitas Kaum Elit) pada tahun 1902, bersama-sama
dengan Wilhelm Jansen and Benedict Friedlander keduanya terkenal dengan kecenderungan
penyimpangan seksualnya. Friedlander
menerbitkan sebuah buku berjudul Renaissance des Eros Uranios (Renaisans Erotika Uranian)
pada tahun 1904. Di sampul buku itu terpampang gambar seorang pemuda Yunani tanpa busana. Friedlander
menjelaskan tujuan buku ini sebagai berikut:
Tujuan
positifnya… adalah kebangkitan kembali kesopanan Yunani dan pengakuan masyarakat atasnya. Dengan
cinta berkesopanan kami maksudkan khususnya
persahabatan erat di antara para pemuda dan lebih khusus lagi ikatan antar sesama lelaki yang berbeda usia.
Tujuan
komunitas ini adalah untuk mengubah Jerman dari masyarakat penganut Yahudi-Kristen menjadi
masyarakat Greko-Uranian. Organisasi menyimpang
ini pun terkenal dengan rasismenya. Mengenai gagasan-gagasan Komunitas Kaum Elit, Kurt Hildebrandt,
pemimpin Masyarakat untuk Hak Asasi Manusia
yang didirikan tahun 1923, menulis dalam bukunya Norm Entartung Verfall (Idealisme, Kemunduran, dan
Kehancuran) bahwa ras unggul adalah yang terdiri dari kaum homoseksual. Menurut pendapatnya,
hubungan dengan wanita hanya di
perlukan untuk “tujuan-tujuan
reproduksi”,
sedangkan untuk mencapai sebuah ras yang
“ultramaskulin”, “cinta” seksual antar sesama lelaki sangatlah
penting.
Pemikiran-pemikiran
ini tak lain dari pemikiran Partai Nazi, yang pada dasarnya merupakan sebuah “klub homoseksual”.
Fakta
ini dikumpulkan oleh Scott Lively dan Kevin Abrams dalam buku mereka The Pink Swastika: Homosexuality in the
Nazi Party (Swastika Merah Muda: Homoseksualitas dalam Partai Nazi),
sebuah kajian berskala besar. Buku ini mengupas berbagai
gerakan dan organisasi pra-Nazi, juga kepemimpinan Partai Nazi, serta mengungkap fakta bahwa terdapat begitu
banyak kaum homoseksual di dalamnya. Dengan
dokumentasi historis, buku ini menjelaskan bagaimana kebijakan Nazi mengumpulkan para homoseksual dan
mengirim mereka ke kamp-kamp konsentrasi hanyalah
untuk pertunjukan, dan bahwa dengan melakukan itu, para pemimpin Nazi senior berusaha untuk menutup-nutupi
perbuatan mereka. Di antara Nazi homoseksual
yang terkenal adalah kepala SA Ernst Röhm, kepala Gestapo Reinhard Heydrich, kepala Luftwaffe Herman
Goering, Rudolf Hess, pemimpin organisasi Hitlerjugend
(Pemuda
Hitler) Baldur von Schirach, Menteri Keuangan Nazi Jerman Walther Funk, and komandan angkatan
darat Freiherr Werner von Fritsch.
The
Pink Swastika juga menunjukkan bahwa kecenderungan ini
tidak hanya terjadi pada kaum
Nazi di Jerman, dan bahwa terdapat banyak homoseksual dalam berbagai gerakan neo-Nazi dan organisasi
rasis yang aktif di Amerika Serikat, serta menunjukkan
bahwa penyimpangan semacam itu adalah ciri yang biasa dari fasisme Kaum pagan fasis yang melakukan
perbuatan dosa yang diceritakan dalam Al Quran, yakni
seperti kaum Nabi Luth.
Bagaimanapun,
mereka yang melakukan praktik tersebut tidak boleh melupakan apa yang terjadi pada kaum
Nabi Luth. Bencana yang ditimpakan atas mereka
dijelaskan dalam Al Quran pada ayat berikut:
“Dan
Luth. tatkala dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan
faahisyah itu , yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun sebelummu?" Sesungguhnya kamu mendatangi
lelaki untuk melepaskan nafsumu, bukan kepada wanita, malah kamu ini
adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan:
"Usirlah mereka dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
berpura-pura mensucikan diri." Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali
istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal . Dan Kami turunkan kepada mereka
hujan; maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa
itu. (QS. Al A‟raaf,
7: 80-84)
No comments:
Post a Comment