FASISME DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Sebagaimana
telah kita pahami, rasisme, salah satu karakteristik fasisme yang fundamentil, sedang bangkit di Eropa,
dan di baliknya terdapat penyebaran Darwinispaganisme. Tetapi apakah moralitas pagan, yang
menghalalkan kecintaan akan kekerasan,
pertumpahan darah, dan kebengisan, pokok inti lainnya dari fasisme, juga bertahan hidup?
Ya,
ia hidup, dan tumbuh pesat.
Dalam
bukunya yang berjudul Modern Fascism: Liquidating the Judeo-Christian Worldview,
sejarawan Amerika Gene Edward Veith menjelaskan bagaimana budaya fasis masih terus hidup dan bergerak.
Pada
tahun 1930-an, para artis avant-garde mengguncangkan kaum borjuis dengan teori-teori estetik mereka yang
memuja kekerasan dan melepaskan berbagai emosi
primitif. Saat ini, jika Anda menyukai contoh-contoh dari estetika fasis masa awal, cukup dengan menonton film laris
Hollywood yang terbaru, menyaksikan MTV, atau
pergi ke konser Heavy Metal. Di sini Anda akan melihat realisasi dari ide-ide artistik fasis: kesenangan dari
kekerasan; gairah pemberontakan moral; pemujaan tubuh
Aria. Simbahan darah yang mengerikan dari sebuah film pembunuhan; orang bertubuh kekar yang mengambil alih hukum
dengan menembaki musuhnya dengan senapan
mesin; massa remaja yang melakukan slam-dance saat Metallica menyanyikan 'Scream, as I'm killing
you!' (“Menjeritlah,
karena aku sedang membunuhmu!”) seni
semacam itu adalah saripati dari estetika fasis.
Ada
pengaruh fasistik yang tersembunyi di dalam “budaya populer” pada kehidupan
kita sehari-hari. Budaya ini, dengan kegemarannya akan kekerasan yang kita saksikan di film-film,
kartun-kartun, konser-konser rock dan klip-klip musik, merupakan hasil dari ideologi
fasis-Darwinis. Cara pandang ini menganggap manusia sebagai sebuah spesies hewan, dan
berpendapat bahwa satu-satunya hukum alam meliputi
“pembunuhan,
pertarungan, dan kehancuran”.
Semua yang ditampilkannya sebagai
benar, cerdas, dan ilmiah sedang mendorong manusia di masa kini menuju aksi-aksi kekerasan dan tingkah laku
yang agresif, kasar, biadab, dan haus darah, sebagaimana
ia telah mendorong manusia kepada kebiadaban Nazi di Jerman tahun 1930-an.
Kita
cukup mencermati media untuk mengetahui tempat fasisme di dalam kehidupan sehari-hari kita. Anggota
keluarga yang saling menikam karena masalah-masalah remeh,
penggemar fanatik yang berbaku hantam sampai mati setelah sebuah pertandingan sepak bola,
anak-anak yang dengan culas membunuh ayah mereka
untuk memperoleh harta warisan, psikopat yang menculik seorang bocah kecil dan menyiksanya sampai mati, hanya
mengatakan bahwa mereka melakukannya “untuk bersenang-senang”…
Terdapat
begitu banyak contoh seperti ini yang bagi kebanyakan orang mulai dipandang sebagai “normal” dan “tak terhindarkan”. Pada kenyataan sebenarnya, mereka hanyalah produk akhir dari “mentalitas”
yang tengah berkembang luas. Keseluruhan
negara dicuci otak sejak usia dini, dibesarkan dengan ungkapan-ungkapan palsu
seperti “Hidup
adalah perjuangan, hanya yang kuat yang menang”, atau “Kalahkan mereka, sebelum mereka
mengalahkanmu”,
dan yang tanpa henti melihat
pesan-pesan itu di dalam film-film yang mereka tonton, lagu-lagu yang mereka dengarkan, dan berita-berita yang
lazim di media.
Para
pelaku kejahatan yang dilaporkan dalam kisah-kisah ini biasanya datang dari kelas masyarakat yang tak terdi
dik. K elas ― elite‖
dalam masyarakat yang terpancing
oleh mentalitas yang sama, juga melakukan kejahatan serupa, tetapi melakukannya dengan cara yang lebih
tersembunyi, atau dengan gaya yang sesuai dengan
jalur pekerjaan mereka, dan karenanya tak semudah itu dapat diidentifikasi.
Kecenderungan
kepada kekerasan yang membuat gelisah di tengah masyarakat modern sudah umum diketahui, tetapi
belum ada solusi yang ditemukan untuk mengatasinya.
Salah satu halangan penting adalah fakta bahwa kekerasan ini di anggap “ normal”. Alasan kedua adalah karena kebanyakan
orang tidak menyadari sumbernya
yang sebenarnya. Mereka mengira masalah itu dapat diselesaikan dengan menggunakan langkah-langkah hukum dan
keamanan. Namun mereka keliru. Tentu saja,
langkah-langkah “teknis” semacam
itu di perlukan, namun solusi yang sejati adalah
dengan menemukan sumber dari kemerosotan di dalam masyarakat ini, dan mengobati penyakit ini secara ideologis.
Sumber
dari kemerosotan ini, sebagaimana coba dijelaskan oleh buku ini, adalah Darwinisme. Ide-ide seperti “Hidup adalah perjuangan, hanya yang kuat
yang menang”,
dan “Jika
kamu tidak mengalahkan mereka, mereka akan mengalahkanmu” berakar
pada Darwinisme, semua itu pada akhirnya bertanggung jawab atas peni ngkatan “fasisme dalam kehidupan sehari – hari” dewasa ini di seluruh penjuru dunia.
Sebagian
orang mungkin keberatan dengan diagnosa ini, dan berkata, “kebanyakan orang yang melakukan tindak
kekerasan belum pernah mendengar tentang
Darwinisme”.
Dan ini benar, sebagian. Mereka yang melakukan berbagai aksi kekerasan ini memang mungkin belum
pernah mendengar tentang Darwinisme. Tetapi
mereka yang memerintah golongan masyarakat itu dan membentuk cara pandang mereka memang memperoleh
inspirasi mereka dari Darwinisme. Kelompok ini
kuat dan dominan di berbagai universitas, media, lembaga ilmiah, dalam seni dan literatur, dalam film dan televisi, dan
dalam banyak bidang yang memengaruhi cara berpikir
orang. Dan merekalah yang menyebarkan ide bahwa “Hidup adalah perjuangan, hanya yang kuat yang menang.
Komunitas
ini, yang memandu masyarakat ke arahnya, meyakini Darwinisme secara membuta, dan memandang diri
mereka bukanlah ciptaan dan abdi Tuhan dengan
berbagai kewajiban kepada-Nya, tetapi sebagai hewan yang lebih maju, yang berevolusi dari kera, dengan tujuan
satu-satunya adalah “konflik”.
Ideologi Darwinis ini
secara teratur ditampilkan di koran-koran, majalah-majalah, dan di televisi.
Akan
tetapi, orang-orang seperti itu, yakni komunitas yang memproduksi apa yang mereka sebut berita, kaum ― elite‖ yang membantu menci ptakan
pandangan ini, jelas-jelas keliru.
Bertentangan dengan klaim-klaim Darwinisme, manusia bukanlah hewan yang muncul secara kebetulan dan
yang tujuan hidupnya satu-satunya adalah untuk
bertarung. Manusia diciptakan oleh Tuhan, dan bertanggung jawab untuk hidup sesuai patokan moral yang telah
diturunkan-Nya. Dan, sekali lagi bertentangan dengan
propaganda Darwin, ilmu pengetahuan mengungkapkan kebenaran bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan, atau
kreasionisme, bukan Darwinisme. Sebagaimana
yang dinyatakan di dalam Al Quran:
“Dialah
Allah Y ang Menciptakan, Y ang Mengadakan, Y ang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul
Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.“ (QS. 59: 24)
Agar
lepas dari budaya yang terpengaruh fasis dan mengingkari penciptaan oleh Tuhan, filsafat Darwinisme ini
harus dibasmi, dan orang-orang dibebaskan dari tipudayanya.
Satu hal yang penting adalah membungkam suara-suara yang berbisik kepada orang lain agar percaya: “Lakukan kekejaman, tumpahkan darah,
bunuh, inilah nalurimu, kamu
hanyalah seekor binatang, dan setelah kau mati hidupmu akan sel esai”. Ketika suara ini dibungkam, mereka
yang telah terhipnotis akan melihat kebenaran
dan memahami tujuan hidup mereka.
No comments:
Post a Comment