IMPLEMENTASI TEORI-TEORI DARWINIS DI DALAM MASYARAKAT: POLITIK
NAZI
Menurut ideologi Nazi, ras-ras terbagi dalam tiga
kategori dasar. Yang pertama adalah “ras-ras
yang sedang membangun peradaban”, yakni bangsa
Jerman dan bangsa-bangsa di belahan utara lainnya. “Ras-ras pengikut peradaban”, adalah ras yang tidak
memiliki kekuatan untuk memajukan peradaban, melainkan ras-ras “ biasa” yang hanya
mampu meniru. Hitler memasukkan bangsa-bangsa semacam Cina dan Jepang ke dalam kel ompok kedua ini. Kategori keti
ga terdiri dari “ras-ras penghancur peradaban”, seperti bangsa Yahudi, Slavia dan Afrika.
Ideologi Nazi menganggap pencampuran ras Jerman
dengan ras-ras “rendahan”
merupakan sebuah “kekeliruan biologis”. Hitler mengatakan, “Pencampuran ras yang lebih tinggi dengan ras yang
lebih rendah jelas-jelas bertentangan dengan tujuan alam dan mengaki batkan
kepunahan ras Aria… . Di mana darah Aria telah bercampur dengan bangsa yang lebih
rendah, hasilnya adalah kepunahan para pengusung kebudayaan.”
Karenanya, begitu Nazi berkuasa, mereka berusaha
untuk memperbaiki apa yang dinamai “kekeliruan evolusioner” ini. Hitler memberlakukan sejumlah undang-undang hingga akhir
tahun 1933 itu, dan proses pembersihan ras pun dimulai. Hanya yang berdarah Jerman saja yang dianggap sah sebagai
warga negara dan mendapat perlakuan khusus. Pada bulan Juni 1933, keluarlah
undang-undang yang menyingkirkan bangsa gipsi, Afrika, Yahudi, dan para
penyandang cacat dari masyarakat. Hitler membela kebijakannya:
Pencampuran darah, yang mengakibatkan penurunan
tingkat biologis ras ini, merupakan satu-satunya penyebab dekadensi
peradaban-peradaban terdahulu. Karena adalah fakta bahwa berbagai bangsa tidak
musnah karena kalah perang, melainkan karena hilangnya daya resistensi yang
berasal hanya dari pelestarian kemurnian rasial. Karena semua yang secara rasial
tidak murni hanyalah sisa-sisanya.
Hitler percaya bahwa begitu ras-ras rendahan telah
rampung dilenyapkan, umat manusia akan menghargainya atas perkembangan ini.
Terinspirasi oleh Darwin, Hitler menggambarkan
kaum muda dari ―ras superior‖ yang ingin ia
ciptakan dalam
ucapannya:
Pendidikan yang aku terapkan sangat keras. Aku
menginginkan kaum muda yang kuat, mengagumkan, bengis dan tak kenal takut…
Tidak boleh ada yang lemah atau lunak tentang mereka. Kebebasan dan kebanggaan
milik binatang liar harus terpancar dari mata mereka… Beginilah aku akan
mencabut penjinakan manusia selama ribuan tahun.
Namun, bagaimana cara Hitler menciptakan “kaum
muda yang kuat, mengagumkan,
bengis dan tak kenal takut” ini?
Cara-cara propaganda saja tidak akan memadai. Teori
rasial Nazi memandang manusia sebagai suatu spesies binatang, dan menganggap bahwa kualitasnya dapat ditingkatkan
dengan metode-metode serupa dengan yang digunakan oleh para peternak.
Oleh karena itu, Nazi menganut teori “egenetika” dan
menggiatkan implementasinya. Sebagaimana dibahas sebelumnya
dalam buku ini, egenetika merupakan sebuah kebijakan yang menginginkan “peningkatan kualitas manusia”, yang berasal dari Sparta, kota pagan zaman Yunani
kuno. Egenetika dihidupkan kembali oleh sepupu Charles Darwin, Francis Galton,
pada abad ke-19. Ernst Haeckel menjelaskan bagaimana egenetika dapat dilakukan
serta membela pembunuhan bayi cacat sejak saat kelahiran. Ia juga menyatakan bahwa
orang yang sakit-sakitan, dan yang lemah atau cacat mental harus dimandulkan.
Kaum Nazi bersegera melaksanakan kebijakan yang
tidak berperikemanusiaan ini. Ketika mereka mulai berkuasa pada tahun 1933,
mereka memberlakukan undang-undang “kesehatan rasial”. Berdasarkan undang-undang ini, orang yang cacat
mental dan yang sakit harus disterilkan, untuk mencegah
mereka berketurunan. Mereka bahkan dipisahkan dari masyarakat, dan untuk itu,
dikumpulkan bersama di tempat-tempat khusus. Nazi membangun tempat-tempat ini sesegera
mungkin, dan membuang banyak orang ke sana. Mereka diperlakukan
layaknya binatang. Pada dua tahun pertama pelaksanaan, Dewan K esehatan
Hereditas Nazi mengkaji hampir 80.000 pengajuan untuk mensterilkan orang, dan
menyetujui sebagian besar petisi ini.
Perlahan-lahan, kebijakan egenetika Jerman menjadi
semakin kejam, dan berujung pada “euthanasia”
besar-besaran terhadap mereka yang terbelakang,
gila, dan tak diinginkan. Dengan kata lain, orang-orang
ini dibunuh. Film-film dan foto-foto tentang
periode ini memperlihatkan tragedi pembunuhan terhadap orang-orang yang sakit secara mental maupun fisik, dengan
penyuntikan racun oleh para dokter Nazi. Orang lanjut usia maupun anak-anak menjadi korban
kekejaman ini.
Sembari terus menerus melakukan kebiadaban ini
dengan berani, Nazi Jerman juga mendorong “egenetika positif”, yang menganj urkan perkawinan laki - laki dan perempuan Aria
untuk melahirkan anak-anak yang diyakini oleh pejabat-pejabat Nazi akan diberkahi gen-gen unggul. Demi pemikiran ini,
wanita-wanita terpilih dengan ciri-ciri “ras
unggul” yang penting (berambut pirang, kuat, dan bermata
biru) bahkan ditempatkan di rumah-rumah khusus, untuk dibuahi oleh
sebanyak mungkin tentara Nazi.
Tujuannya adalah untuk menghasilkan
sebanyak-banyaknya “ras Aria”, bagaikan mengembangbiakkan
sapi atau kuda. Namun, hasilnya sangat mengecewakan para Nazi. IQ anak-anak yang dihasilkan lebih rendah
daripada orang tua mereka, dan turun ke arah rata-rata populasi.
Hitler mempertahankan kebijakan-kebijakan egenetika
dan pemurnian ras ini dengan mengatakan:
Jika setiap tahun Jerman memiliki satu juta anak,
dan melenyapkan 700-800.000 yang terlemah, maka hasil akhirnya mungkin adalah
peningkatan kekuatan [nasional].
Dalam sebuah pidato pada tahun 1939, Hitler
berargumentasi bahwa demi kesehatan organisme sosial, negara harus mengambil
tanggung jawab. “Mari kita mengerahkan
segala daya upaya pada yang produktif, bukan pada yang sia-sia.” Di tempat lain ia mendesak, “Bersihkan bumi dari orang-orang disgenetik dengan
segala sarana yang ada, sehingga kita dapat menikmati
kemakmuran tanah air ini.”
No comments:
Post a Comment