Powered By Blogger

Monday, 6 May 2013

KEBENCIAN FASISME TERHADAP WANITA


KEBENCIAN FASISME TERHADAP WANITA

Ada aspek yang sangat penting dari fasisme, namun tak banyak orang yang mengetahuinya. Fasisme memiliki sikap permusuhan terhadap wanita, dan menganggap wanita lebih rendah dari pria.

Fakta ini terlihat dari ucapan dan pernyataan-pernyataan para pemimpin fasis abad ke-20. Sebagai contoh, pernyataan Mussolini kepada Maurice de Valeffe, seorang reporter media Prancis Journal, tanggal 12 November 1922, yang secara terbuka meremehkan kaum wanita:

Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa aku akan membatasi hak pilih. Tidak! Setiap warga negara berhak memilih Parlemen Roma… Biar kuakui juga kepadamu bahwa aku tidak berpikir untuk memberi hak suara kepada kaum wanita. Tidak mungkin. Darahku menentang semua bentuk feminisme jika itu mengenai partisipasi wanita dalam urusan negara. Tentu saja wanita tidak boleh menjadi budak, tetapi jika aku memberinya hak suara, aku akan ditertawakan. Di negara kami, wanita tidak boleh diperhitungkan.

Selama krisis ekonomi yang serius di awal tahun 1930, Mussolini memerintahkan bahwa wanita harus meninggalkan pekerjaan mereka. Karena dia menganggap wanita sebagai pencuri-pencuri yang berusaha merampas roti kaum
pria, dan wanita bertanggung jawab atas ketidakproduktifan kaum pria.

Pendapat-pendapat Duce tentang wanita sangat jelas terlihat sebuah wawancara yang diberikannya kepada jurnalis Prancis Hélène Gosset tahun 1932:

Wanita harus tunduk… . Bahkan jika mereka memiliki daya analitis, mereka tidak punya daya sintesa. Pernahkah mereka membangun sebuah struktur arsitektur? Aku
bukan sedang membicarakan tentang sebuah kuil: seorang wanita tidak mampu melakukan lebih dari mendirikan sebuah gubuk. Kaum wanita tidak tahu apa-apa soal arsitektur, sintesa dari semua seni: dan takdir mereka berakhir di titik ini.

Melalui berbagai undang-undang, pembatasan terhadap wanita di tempat kerja juga dikenakan dalam pendidikan. Sebagai contoh, sebuah dekrit tanggal 30 Januari 1927 melarang wanita di sekolah menengah untuk mengambil kelas sastra dan filsafat. Surat keputusan lainnya yang disahkan tahun 1928 memberi jalan bagi kebijakan legal untuk menentang pendidikan kaum wanita, dan wanita dilarang menjadi kepala sekolah menengah. Pelajar-pelajar wanita diharuskan membayar dua kali lipat untuk biaya sekolah dan universitas.

Sebuah dekrit yang diajukan Mussolini di depan parlemen tanggal 28 November 1933, menyatakan: Lembaga-lembaga negara diberi kewenangan untuk menentukan persyaratan yang tidak menyertakan wanita dalam pengumuman untuk ujian masuk pegawai baru… Mereka harus menentukan batas terhadap peningkatan jumlah pegawai wanita di kantor-kantor pemerintahan… Berdasarkan surat keputusan yang disahkan secara hukum pada 1 September 1938, jumlah pegawai wanita di kantor-kantor pemerintahan dibatasi maksimal hanya 10%.

Pada Jerman Nazi, status wanita sebagai warga kelas dua bahkan lebih ditegaskan lagi. Menteri pendidikan Jerman memutuskan bahwa jumlah lulusan wanita dari sekolah menengah tidak boleh lebih dari 10%. Tahun 1934, hanya 1.500 dari setiap 10.000 lulusan wanita dari sekolah menengah yang diperbolehkan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Pada tahun 1929, terdapat 39 lembaga pendidikan Sosialis Nasional. Namun, hanya dua di antaranya yang ditujukan bagi kaum wanita. Undang-undang disahkan untuk melarang wanita mengikuti kelas Bahasa Latin di sekolah menengah. Bahkan sebelum menyelesaikan sekolah menengah, mereka dihalang-halangi untuk melanjutkan ke universitas.

Berbagai dekrit ini tidak hanya menunjukkan sebuah ideologi sosial atau peraturan yang diberlakukan semata-mata untuk membantu perkembangan perburuhan, melainkan merupakan implementasi dogma biologis Nazisme. Maria A. Macciocchi, penulis Eléments pour une Analyse du Fascisme berkomentar bahwa di mata kaum Nazi, wanita adalah sejenis binatang. Menurut filsafat ini, wanita merupakan ras primitif, pada tingkat yang rendah dalam kategori biologis.

No comments:

Post a Comment