Powered By Blogger

Monday, 6 May 2013

SERANGAN SISTEM FASIS TERHADAP SENI


SERANGAN SISTEM FASIS TERHADAP SENI

Aspek fasisme lain yang mengganggu adalah bahwa rakyat yang hidup di bawah rezim ini tidak dapat mengembangkan bakat seni mereka, dan penelitian-penelitian ilmiah mereka gagal membuahkan hasil yang produktif.

Untuk menentukan penyebabnya, kita harus mendefinisikan seni terlebih dahulu. Seni ditemukan pada orang-orang yang menemukan kesenangan dalam keindahan dan berkeinginan untuk mengekspresikannya. Karenanya, pertama-tama dibutuhkan jiwa yang mampu mengapresiasi keindahan. Misalnya, seorang seniman yang memiliki perasaan cinta dan kasih sayang dapat melihat keindahan pada seekor hewan, sebuah pemandangan, atau suatu tumbuhan. Ia merasakan semacam kesenangan, dan kemudian ia mencoba melukiskannya. Seorang komposer, ketika merasakan keindahan itu, akan menggubah musik yang merdu, karena jiwanya sangat ingin mengekspresikannya. Hal yang sama berlaku untuk semua jenis seni, dari sastra hingga musik.

Bagaimanapun juga, tidak mungkin orang-orang yang memiliki jiwa yang kelam dan dingin, yang terbiasa dengan penindasan, kekejaman dan telah kehilangan semua rasa kemanusiaan, mampu menghasilkan seni. Mustahil orang yang percaya pada agresi dan keunggulan kekuatan, yang menganggap perlu adanya pertumpahan darah dan memandang dunia sebagai medan perang sebuah arena di mana hanya yang terkuat yang berhak hidup, dapat dipengaruhi oleh keindahan alam atau umat manusia serta seluk-beluknya.

Itu semua adalah karakteristik kaum fasis, dan oleh karena itu, tidak mungkin seorang fasis memiliki perasaan artistik. Jiwa fasis benar-benar terlemahkan dan dungu, tidak memiliki semua jenis pemahaman, dan menganggap seni itu tidak di perlukan.

Sebenarnya, permusuhan orang-orang fasis terhadap seni bisa dirunut dari Sparta kuno, kota yang mereka jadikan sebagai model. Pada zaman di mana seni sangat dihargai di Athena, Sparta memandang seni tidak penting, dan malah melatih warganya menjadi prajurit sejak usia dini. Dalam pendidikan, anak-anak Sparta sesungguhnya dilarang untuk menumbuhkan minat pada kegiatan membaca dan menulis atau seni.

Di negara-negara fasis abad ke-20, karya-karya seni, kalaupun ada, dibuat dan dikontrol oleh negara untuk kepentingan propaganda. Karya-karya ini adalah hasil dari seni untuk memerintah yang mekanis dan tanpa jiwa. Tidak muncul karya seni sejati. Contohnya, hanya objek-objek tertentu yang diperbolehkan negara yang dapat dilukis, misalnya perang. K ondisi yang sama juga berlaku untuk dunia tulis-menulis; hanya hal-hal yang diperbolehkan negara yang dapat ditulis, dan lain tidak. Hasilnya, muncullah seni yang sama sekali tidak berhubungan dengan seni, yang secara estetis mengubah seni, arsitektur dan sastra menjadi kaku, tanpa jiwa dan menjemukan.

Bukti yang paling nyata bisa ditemukan saat Jerman dikuasai Hitler. Karena pandangan-pandangan rasisnya, Hitler memboikot bentuk-bentuk seni tertentu. Misalnya, karena menilai orang Afrika adalah ras rendah, pertunj ukan musik jazz dilarang di Jerman, karena dianggap sebagai musiknya orang hitam. Tahun 1935, Eugen Hadamowski, kepala radio Jerman, mengumumkan bahwa atas perintah Hitler, dia melarang musik jazz Negro disiarkan di radio Jerman.

Di awal 1940-an, pada puncak kekuasaan Hitler, jazz mulai digunakan sebagai alat propaganda di penyiaran radio yang diarahkan ke Inggris dan Amerika. Saat itu di hampir semua negara, jazz merupakan salah satu jenis musik yang paling populer. Musisi-musisi terbesar jazz Eropa dikumpulkan. Hal pertama yang dilakukan adalah menerjemahkan semua nama-nama Inggris pada lagu-lagu jazz terkenal ke bahasa Jerman. Lirik lagu-lagu ini diubah agar sesuai dengan propaganda Nazi, dan hanya diperdengarkan dalam acara-acara radio yang ditujukan untuk Barat, dan sangat dilarang dimainkan di radio domestik Jerman.

Seluruh isi lirik lagu-lagu tersebut adalah fasis. Contohnya berikut ini:

Engkau yang terhebat… Engkau pilot J erman… Engkau adalah tembakan senapan mesin… Engkaulah awak kapal selam yang heroik… Engkaulah yang terhebat… Engkau bomber Jerman…

Itulah gagasan Nazi tentang seni. Lukisan-lukisan, lirik-lirik lagu, musik dan sastra diharuskan untuk menampilkan tema-tema yang telah disetujui pemerintah. Misalnya, para pelukis hanya boleh melukis objek yang membakar semangat berperang. Ketika grup jazz yang dikontrol pemerintah mengeluarkan rekaman yang tidak berisi propaganda Nazi, mereka segera dituduh bermoral rendah dan diperingatkan untuk tidak pernah lagi mencoba melakukannya.

Dan, itu bukan akhir dari pengaturan Hitler terhadap para seniman. Setelah undang-undang ras tahun 1933, Reichsmusikkammer (Dewan Musik Reich) mewajibkan pendaftaran semua musisi Jerman. Hasilnya, ratusan komposer berbakat dengan sengaja diberangus karya-karyanya dan karir mereka berakhir hanya karena ras atau gaya musik mereka bertentangan dengan Reich K etiga. Karya-karya terkenal dari Mendelssohn, Mahler dan Schoenberg digunakan sebagai contoh musik yang tidak dapat diakui.

Menurut Hitler, peran seni adalah untuk menyampaikan pesan-pesan politik untuk membentuk pikiran publik. Bagi Hitler, seni sejati adalah seni yang menggambarkan kehidupan di daerah pedalaman dan ras Aria yang sehat. Dalam sebuah pidato, ia memberikan pandangan-pandangannya tentang seni dan seniman:

Kita akan menemukan dan mendorong seniman-seniman yang mampu membuat rakyat Negara Jerman terkesan akan ciri budaya ras Jerman… dalam jati diri mereka dan dalam karya yang dipersembahkan, mereka adalah ekspresi jiwa dan cita-cita masyarakat ini.

Sebagaimana terlihat dari semua pemaparan di atas, bakat-bakat artistik dan upaya-upaya ilmiah orang-orang yang berada di bawah rezim fasis pada akhirnya siasia belaka. Di sisi lain, bagaimanapun, masyarakat yang hidup dengan agama yang lurus melihat kemajuan pesat dan perkembangan di bidang seni. Orang-orang yang beragama mengetahui bahwa alam semesta dan semua makhluk hidup di dalamnya diciptakan oleh Tuhan, karenanya mereka melihat segala sesuatu di sekeliling mereka dengan maksud memperhatikan keindahannya. Mereka menyadari cita rasa seni di dalam ciptaan Tuhan. Mereka melihat manusia, hewan, tumbuhan dan semua yang ada di alam sebagai ciptaan Tuhan, dan mereka mencintai serta menghargainya, menyadari keindahan serta memperhatikan detail-detailnya. Memang pada kenyataannya, karya-karya seni terbesar dalam sejarah muncul dari inspirasi yang ditemukan para seniman dalam subjek-subjek religius.

No comments:

Post a Comment