PRINSIP-PRINSIP UTAMA PSIKOLOGI EVOLUSIONER
Psikologi
evolusioner memiliki sejumlah prinsip yang penting. Prinsip-prinsip utama tersebut akan dijelaskan dibawah ini
dengan mengambil sumber utama dari tulisan Buss (1995a),
Buss, Haselton, Shackelford, Bleske, & Wakefield (1998) dan Cosmides & Tooby (1997).
1.
Seleksi alamiah (natural selection). Proses evolusi adalah
perubahan-perubahan struktur
organisme sepanjang waktu. Perubahan-perubahan tersebut dilandasi oleh sebuah mekanisme yang bersifat kausal,
yakni seleksi alamiah. Seleksi alamiah mempunyai
tiga unsur, yaitu (a) Variasi (variation). Hewan dalam satu spesies yang sama dapat bervariasi dalam berbagai
cara, misalnya dalam hal panjang sayap, struktur sel,
kemampuan berkelahi dan sebagainya, (b) Warisan (inheritance), hanya
sejumlah variasi yang akan diwariskan secara ajeg
dari orang tua kepada keturunannya. Variasi-variasi lain
tidak akan diwariskan kepada keturunan. Hanya variasi yang diwariskan saja yang akan berperan dalam proses evolusi.
(c) Seleksi (selection). Organisme yang mempunyai
sifat-sifat tertentu yang dapat diwariskan akan memproduksi lebih banyak keturunan dibandingkan dengan organisme
yang kurang memiliki sifat-sifat yang dapat diwariskan
oleh karena sifat-sifat tersebut membantu memecahkan problem khusus dan dengan demikian memberi sumbangan kepada
reproduksi dalam satu lingkungan tertentu
(Buss et al., 1998).
Sirkuit
syaraf didesain oleh seleksi alamiah untuk memecahkan problem yang dihadapi nenek moyang selama sejarah
evolusioner spesies (Cosmides & Tooby, 1997). Satu
problem yang harus dipecahkan berkaitan dengan kelangsungan hidup (survival), misalnya problem “Makanan apa yang harus
dimakan?”. Orang memiliki banyak pilihan makanan:
ada padi, buah-buahan, kacang, dan daging tetapi ada juga daun-daunan, batu, tanaman beracun, bangkai busuk, dan
tahi. Cosmides & Tooby (1997) memberikan ilustrasi
mengenai perilaku lalat dan manusia terhadap tahi. Perilaku lalat dan manusia akan berbeda saat menghadapi seonggok
tahi bau. Seonggok tahi akan menjadi tempat bagi
lalat betina untuk menempatkan telur. Lalat jantan akan suka terbang mengitari onggokan tahi oleh karena mereka dapat
memperoleh pasangan di tempat itu. Sebaliknya,
seonggok tahi bau akan menimbulkan rasa jijik serta dihindari oleh manusia karena tahi itu dapat merupakan sumber
penyakit. Seleksi alamiah dalam kasus ini dapat digambarkan
sebagai prinsip “jika makan tahi, maka akan mati”. Sejumlah orang yang memiliki sirkuit syaraf yang membuat
tahi terasa manis akan suka memakan tahi. Akibatnya,
mereka akan terkena penyakit dan kemudian meninggal. Orang-orang yang memiliki sirkuit syaraf yang menyebabkan
mereka menghindari makan tahi, akan lebih sedikit
peluangnya untuk sakit dan akan hidup lebih panjang. Jumlah pemakan tahi akan tinggal sedikit pada generasi
selanjutnya dan lama kelamaan akan hilang dari populasi. Tidak ada lagi orang-orang yang memiliki
sirkuit syaraf yang membuat tahi terasa lezat. Populasi
akan diisi oleh orang yang menghindari tahi dan menyukai makanan yang kaya gula dan lemak. Preferensi orang
terhadap makanan yang mengandung banyak gula dan lemak
itulah disebut sebagai mekanisme psikologis. Dengan kata lain, mengapa manusia memiliki sekumpulan sirkuit syaraf
tertentu adalah karena sirkit yang dimiliki lebih baik dalam memecahkan problem adaptif yang
dihadapi nenek-moyang kita dulu selama sejarah
evolusioner spesies dibandingkan dengan sirkuit syaraf lain.
Manusia
juga menghadapi problem adaptif yang berkaitan dengan reproduksi. Salah satu problem adaptif itu
menyangkut memilih seorang wanita yang subur. Orang-orang jaman
dulu yang menikahi wanita tidak subur akan gagal bereproduksi. Sebaliknya, orang-orang yang menikahi
wanita subur akan berhasil dalam bereproduksi. Selama
beribu-ribu generasi kemudian akan muncullah secara evolusioner preferensi pria terhadap wanita yang subur. Lebih
tepatnya, preferensi dan ketertarikan pria terhadap tanda-tanda pada diri wanita yang
berkorelasi secara reliabel dengan fertilitas (Buss & Schmitt, 1993).
Proses
seleksi alamiah diibaratkan bekerja seperti sebuah penyaring (Buss et. al, 1998). Variasi-variasi yang menghambat
solusi yang sukses terhadap problem adaptif akan
dibuang; sementara itu variasi-variasi yang memberi sumbangan pada solusi
sukses terhadap problem adaptif akan berhasil
masuk lewat saringan selektif. Selama beberapa generasi,
proses penyaringan akan cenderung memproduksi dan mempertahankan karakteristik-karakteristik yang
berinteraksi dengan lingkungan fisik, sosial dan internal yang mempromosikan reproduksi individu
yang memiliki karakteristik-karakterisitik tersebut.
Karakteristik-karakteristik inilah yang dinamakan adaptasi.
2.
Adaptasi (adaptation). Adaptasi adalah produk proses evolusioner. Adaptasi adalah satu karakteristik yang
berkembang secara reliabel dan dapat diwariskan yang muncul menjadi satu ciri satu spesies
melalui seleksi alamiah oleh karena karakteristik tersebut
membantu secara langsung atau tidak langsung untuk memfasilitasi reproduksi selama periode evolusinya (Buss et. al,
1998). Fungsi adaptasi adalah untuk memecahkan satu
problem adaptif. Pengertian adaptasi dalam psikologi evolusioner ini berbeda
dengan pengertian adaptasi yang umum dipakai
oleh psikologi. Pengertian umum adaptasi biasanya
menunjuk pada pengertian yang menyangkut kebahagiaan pribadi, kesesuaian sosial, kemampuan menyesuaikan diri
dengan kondisi yang berubah atau kesejahteraan hidup.
Adaptasi
merupakan karakt eristik yang bersifat dapat diwariskan. Adaptasi diturunkan oleh orang tua kepada anak keturunan.
Agar supaya adaptasi dapat diwariskan kepada
keturunan maka perlu ada gen adaptasi. Meskipun adaptasi merupakan karakteristik yang diwariskan, faktor
lingkungan mungkin memainkan peranan penting dalam perkembangan ontogenetiknya (Buss
et al, 1998).
Satu
karakteristik dinilai sebagai adaptasi jika memenuhi dua kriteria (Buss et al, 1998), yakni (a) karakteristik tersebut
harus secara ajeg muncul dalam bentuk yang lengkap
pada saat yang tepat dalam kehidupan organisme, (b) karakteristik itu merupakan karakteristik
yang tipikal dari semua atau kebanyakan anggota spesies.
Adaptasi
tidak selalu harus ada pada saat kelahiran. Misalnya, gerakan dengan dua kaki merupakan satu karakteristik yang
berkembang secara ajeg dari manusia, namun kebanyakan manusia baru mampu berjalan
dengan dua kaki pada usia setahun.
3.
Mekanisme psikologis hasil evolusi (evolved psychological mechanism)
Semua
perilaku yang kasat-mata akan dilandasi oleh mekanisme psikologis selain oleh input (Buss, 1995a). Misalnya, jika
seorang anak dan seorang dewasa merespons secara
berbeda stimulus yang sama, maka hal ini disebabkan karena mereka memiliki mekanisme psikologis yang berbeda.
Contoh lain, jika seorang pria dan wanita mempunyai
respons yang berbeda terhadap stimulus yang sama, hal itu disebabkan karena pria dan wanita memiliki
mekanisme psikologis yang berbeda. Mekanisme fisiologis
dan juga psikologis merupakan hasil proses evolusi dengan cara seleksi alami.
Buss
(1995a, h. 6) merumuskan mekanisme psikologis sebagai sekumpulan proses didalam diri organisme yang (a) ada
dalam bentuk yang sekarang ini oleh karena mekanisme
ini memecahkan satu problem khusus dari keberlangsungan hidup atau reproduksi individu secara berulang kali
sepanjang sejarah evolusioner manusia, (b) hanya
mengambil informasi atau input tertentu yang dapat bersifat internal atau eksternal, dapat
disarikan secara aktif atau diterima secara pasif dari lingkungan, dan
menetapkan bagi individu problem
adaptif tertentu yang dihadapinya, dan (c) mengubah informasi menjadi output melalui satu prosedur
dimana outputnya akan mengatur aktivitas fisiologis,
memberikan informasi pada mekanisme psikologis lain atau menghasilkan tindakan, dan memecahkan satu problem
adaptif tertentu. Salah satu tugas utama psikologi
evolusioner adalah mengidentifikasikan, menggambarkan dan memahami mekanisme psikologis. Fungsi mekanisme
psikologis adalah memecahkan problem adaptif
khusus yang telah didesain oleh proses seleksi alami (Buss, 1995a, h. 6).
Sebagai
contoh, dari tabel 1 terdapat kecenderungan manusia untuk merasa takut terhadap ular. Kecenderungan rasa takut
terhadap ular ada dalam bentuk seperti yang sekarang
ini oleh karena kecenderungan itu memecahkan problem khusus bagi kelangsungan hidup dalam lingkungan
manusia jaman dahulu. Rasa takut itu akan dipicu hanya
oleh input-input yang cakupannya sempit, seperti sesuatu yang panjang, melata, dan oleh individu dipersepsikan dalam
jarak menyerang. Jika seeekor ular dipersepsikan berbahaya
dan berada dalam jarak serangan, maka informasi ini akan ditransformasi melalui aturan-aturan keputusan yang
mengaktifkan aktifitas -aktifitas fisiologis seperti misalnya gerakan syaraf otonom. Output
terakhir adalah perilaku yang manifes seperti melarikan
diri atau diam tak berdaya. Perilaku tersebut dalam lingkungan masa lalu telah memecahkan problem kelangsungan hidup
adaptif dengan mengurangi resiko gigitan ular yang
bisa mematikan.
Mekanisme
psikologis berjumlah banyak, bersifat kompleks, serta domainspesific. (Buss, 1995a, h. 7; Cosmides &
Tooby, 1997). Problem adaptif yang dihadapi manusia
di masa lalu akan bersifat kompleks, berjumlah banyak dan akan berbeda satu sama lain. Misalnya, rasa takut terhadap
ular akan memecahkan problem adaptif dalam menghindari
resiko lingkungan yang berbahaya dan bukan untuk memecahkan problem adaptif dalam memilih makanan yang harus
dikonsumsi. Problem adaptif yang berbeda akan
memilih solusi adapatif yang berbeda pula.
Secara
prinsip, tidak ada mekanisme psikologis yang bersifat domain-general, yaitu satu mekanisme yang dapat
digunakan dalam semua domain adaptif (bisa digunakan
untuk menghindari ular vs mencari pasangan hidup), oleh semua umur (pada masa anak vs remaja), oleh semua jenis
kelamin (pria vs wanita) dan dibawah semua kondisi
individual (dalam kondisi tekanan sosial vs tidak ada tekanan sosial). Buss (1995a) memberi ilustrasi bahwa keahlian
seorang tukang kayu tidak terbentuk karena ia memiliki
satu kemampuan yang bersifat domain-general atau kemampuan serba-guna untuk memotong, menggergaji, memasang
sekrup, memukul dengan palu, namun karena ia
mempunyai banyak ketrampilan khusus. Cosmides dan Tobby (1997) memberikan analogi tentang jantung dan lever.
Memompa darah dan mendetoksifikasi racun dalam tubuh
adalah dua problem yang berbeda. Desain jantung mempunyai tugas khusus untuk memompa darah, sedangkan desain lever
dikhususkan untuk mendetoksifikasi racun. Jantung
tak bisa dipakai untuk mendetoksifikasi racun, dan sebaliknya lever tak bisa digunakan sebagai pompa darah. Dengan
alasan yang sama, pikiran manusia terdiri dari sejumlah
besar sirkuit syaraf yang fungsinya terspesialisasi. Pikiran manusia terdiri
dari modul-modul khusus. Secara empiris
mekanisme yang bersifat domain-general telah sering dilanggar. Misalnya dalam bidang
psikologi belajar, Breland dan Breland (1968) menemukan
bahwa beberapa binatang sulit dilatih melakukan kondisioning operan. Misalnya, seekor raccoon sulit dilatih
untuk memasukkan uang koin kedalam celengan (tempat
menabung) meskipun setiapkali dia memasukkan koin itu dia mendapat makanan sebagai hadiah. Biasanya, raccoon akan
menggosok-gosok koin itu dan tidak akan memasukkannya
kedalam celengan (1968, h. 288).
Sebagai
kesimpulan, psikologi evolusioner berasumsi bahwa karena (a) problem adaptif itu banyak dan berbeda, (b)
solusi yang sukses dalam satu problem adaptif itu berbeda
dari solusi yang sukses untuk problem adaptif lainnya, dan (c) kesuksesan akan tergantung pada spesies, usia, jenis
kelamin, konteks, dan kondisi individual, maka mekanisme
psikologis untuk memecahkan problem akan berjumlah banyak dan kompleks (Buss, 1995a, h. 8).
Banyak
problem adaptif yang penting pada manusia bersifat sosial. Problem untuk mempertahankan keberlangsungan
hidup dan bereproduksi yang dihadapi manusia banyak
yang secara inheren bersifat sosial (Buss, 1998, h. 9). Misalnya, kompetisi intraseksual yang sukses, pemilihan
pasangan, cara menarik pasangan, hubungan seksual, membentuk persahabatan antara dua orang
yang bersifat timbal-balik, membentuk dan mempertahankan
koalisi, mempertahankan reputasi dan prestise, pengasuhan anak dan sosialisasi. Masing-masing problem
adaptasi sosial tersebut akan mengandung sejumlah subproblem.
Misalnya, untuk membentuk persahabatan antara dua orang yang bersifat timbal balik, maka seseorang harus
mengidentifikasi sumberdaya penting yang dimiliki calon-calon
sahabat itu, mengukur pribadi mana yang memiliki sumber daya penting tersebut, menjadikan nilai-nilai sahabat
itu sebagai model bagi diri kita, memprakarsai rangkaian
hubungan timbal-balik, mendeteksi tanda-tanda hubungan yang tak timbalbalik. Oleh karena problem adaptif yang
bersifat sosial berperan penting bagi kelangsungan
hidup dan reproduksi manusia, maka banyak pula mekanisme psikologis yang bersifat sosial yang dihasilkan
oleh proses evolusi.
4.
Peran sentral konteks dalam psikologi evolusioner. Psikologi evolusioner memberikan peran penting bagi faktor
lingkungan, situasional dan kontekstual (Buss, 1995).
Salah satu peran itu disebut sebagai konteks selektif kesejarahan (historical selective context)
yang menunjukkan adanya tekanan-tekanan seleksi yang dihadapi manusia dan nenek moyangnya selama
beribu-ribu generasi. Di satu pihak, manusia dan simpanse
mempunyai nenek moyang yang sama, maka ada sejumlah kesamaan mekanisme antara manusia dan simpanse.
Misalnya, mekanisme penglihatan antara manusia
dan simpanse adalah sama. Di lain pihak, sejarah evolusi manusia berbeda dengan spesies lain, tekanan seleksi
yang dialami manusia juga unik, maka mekanisme psikologis
manusia juga unik dan tidak dimiliki oleh spesies lain.
Peran
lingkungan juga tergambar dalam konsep konteks ontogenetik (ontogenetic context).
Konteks ontogenetik menggambarkan bahwa pengalaman-pengalaman selama perkembangan dapat melangsir orang untuk
memiliki strategi yang berbeda. Misalnya, ketiadaan
figur ayah pada masa kanak-kanak mendorong orang mengembangkan strategi mencari pasangan dengan cara yang lebih
permisif. Sebaliknya, kehadiran seorang ayah selama
masa kanak-kanak mendorong orang untuk mengembangkan strategi monogami dalam mencari pasangan. Bentuk ketiga
dari peran konteks terdapat dalam input situasional
yang dekat (immediate situational inputs) yang mempengaruhi bekerjanya satu mekanisme psikologis tertentu.
Misalnya, mekanisme psikologis seperti rasa cemburu
akan diaktifkan hanya oleh input kontekstual tertentu seperti adanya tanda-tanda ketidaksetiaan.
Satu tugas penting psikologi evolusioner adalah menjelaskan ketiga bentuk input kontekstual tersebut
(Buss, 1995a, h. 11).
No comments:
Post a Comment