MENGENAL SEPINTAS PSIKOLOGI EVOLUSIONER
Sejumlah
mahasiswa dan mahasiswi diminta menjawab pertanyaan berikut ini: “Idealnya, berapa banyak pasangan
seksual yang ingin anda miliki sampai bulan depan, dalam waktu enam bulan mendatang, selama
setahun, 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun, 10
tahun, 20 tahun, 30 tahun, dan selama sepanjang hayat?”. Ada perbedaan jawaban yang diberikan oleh mahasiswa dan
mahasiswi menanggapi pertanyaan diatas. Mahasiswa
pria ingin memiliki lebih banyak pasangan seksual daripada yang diinginkan mahasiswi. Kecenderungan ini konsisten
untuk setiap interval waktu. Misalnya, untuk waktu
dua tahun mendatang, pria ingin memiliki rerata delapan pasangan seksual, sementara wanita hanya ingin mempunyai
satu pasangan seksual saja. Pria ingin memiliki rerata
18 pasangan seksual selama hidupnya, sementara wanita hanya menginginkan rerata 4 atau 5 pasangan seksual (Buss
& Schmitt, 1993). Teori apa yang mampu menjelaskan
perbedaan antara pria dan wanita menyangkut jumlah pasangan seksual yang diinginkan tersebut? Psikologi
evolusioner mungkin akan bisa menjawab permasalahan
ini.
Sejumlah
orang diberi satu pernyataan yang menggambarkan kebiasaan warga kota Cambridge: “Jika seseorang pergi ke
kota Boston, maka dia akan menumpang kereta bawah
tanah”. Kemudian, mereka diberi empat kartu yang memberi informasi tentang empat warga kota Cambridge. Salah satu
sisi dari masing-masing kartu akan berisi informasi
tentang ke kota mana warga Cambridge akan pergi; sedang sisi lain dari setiap kartu akan berisi informasi tentang
kendaraan apa yang dipakai untuk bepergian. Sisi depan
yang dapat dilihat pada masing-masing kartu berisi informasi sebagai berikut: Kartu pertama bertuliskan kota Boston,
kartu kedua bertuliskan kota Arlington, kartu ketiga
diberi tulisan kereta bawah tanah, dan kartu terakhir diberi tulisan taksi.
Tugas mereka adalah memilih kartu manakah yang
harus dibalik untuk membuktikan kebenaran atau
kesalahan pernyataan “Jika seseorang pergi ke Boston, maka dia akan menumpang kereta bawah tanah”. Jawaban yang tepat
menurut penalaran logis adalah membalik kartu pertama
yang bertuliskan kota Boston dan kartu keempat yang berisi tulisan taksi. Sayangnya, hanya sekitar 25% dari subjek
yang diminta memecahkan problem diatas mampu
membuat jawaban benar (Cosmides & Tooby, 1997). Hal ini berarti secara umum pikiran manusia kurang mampu membuat
penalaran logis, lebih khususnya pikiran manusia
kurang mampu mendeteksi pelanggaran prinsip kondisional jika-maka. Akan tetapi, gambaran tentang pikiran manusia
yang samasekali bertolak belakang dengan gambaran
negatif diatas akan muncul ketika orang diberi pernyataan yang mengandung kontrak sosial seperti “Jika anda ingin
makan roti-roti itu, maka anda harus merapikan tempat
tidur dulu”. Lebih banyak orang (sekitar 65-80% dari subjek yang diminta memecahkan problem) ternyata mampu
melakukan penalaran logis dan mendeteksi kecurangan
dalam kontrak sosial tersebut (Cosmides & Tooby, 1997). Teori apa yang dapat
menjelaskan mengapa pikiran manusia lebih mampu mendeteksi kecurangan dalam situasi
khusus pertukaran sosial daripada melakukan deteksi pelanggaran prinsip kondisional jika-maka secara umum?
Psikologi evolusioner mungkin akan mampu menjawab
permasalahan ini.
Psikologi
evolusioner mulai ditempatkan sebagai salah satu pendekatan atau perspektif yang penting dalam psikologi
secara umum (Baron, 1996), psikologi sosial (Archer,
1996), psikologi perkembangan (Bjorklund & Pellegrini, 2000), psikologi kepribadian (Buss, 1995) psikologi
belajar (Hergenhahn & Olson, 2001), psikologi kognitif
(Solso, 1998), dan psikologi perbedaan antara pria dan wanita (Buss, 1995b). Misalnya, Baron (1996, hal. 9)
memasukkan psikologi evolusioner sebagai salah satu perspektif dalam mempelajari perilaku
disamping perspektif behavioral, kognitif, psikodinamik,
humanistik, biopsikologis, dan sosiokultural. Hergenhahn dan Olson (2001, hal. 48) menambahkan paradigma
evolusioner kedalam teori-teori belajar masa kini
selain paradigma fungsionalistik, asosiasionistik, kognitif, dan
neurofisiologis. Solso (1998,
h. 30) menamai pendekatan psikologi evolusioner dalam psikologi kognitif sebagai bionomik kognitif. Bionomik
kognitif menyatakan bahwa kognisi manusia seperti
persepsi, memori, bahasa, berfikir itu harus dipahami dalam konteks evolusi
fisik dan sosial manusia. Bjorklund &
Pellegrini, (2000, h. 1704) menyimpulkan bahwa perspektif
evolusioner sangat penting untuk ilmu psikologi perkembangan baru.
Kemunculan
psikologi evolusioner didorong oleh keprihatinan bahwa perkembangan teori-teori psikologi sedang dalam
situasi morat -marit (Buss, 1995a). Secara lebih khusus,
Buss menjelaskan bahwa cabang-cabang psikologi seperti psikologi kognitif, psikologi sosial, psikologi
perkembangan, psikologi kepribadian, dan psikologi budaya berkembang terpisah satu sama lain. Para
pakar psikologi dari satu cabang psikologi saja bahkan
tidak mampu mencapai konsensus. Teori-teori skala mini semakin menjamur namun teori-teori tadi tak berkaitan
satu sama lain. Masing-masing teori hanya mampu menjelaskan
serangkaian gejala tertentu. Meskipun pakar psikologi memiliki asumsi bahwa pikiran manusia merupakan suatu
kesatuan yang bersifat menyeluruh dan terpadu, namun
belum ada satu metateori yang memadukan, menyatukan atau menghubungkan berbagai gejala yang berbeda yang
diteliti oleh ahli psikologi. Psikologi evolusioner akan menjadi satu paradigma teoretis
baru yang menawarkan satu metateori bagi psikologi (Buss, 1995a, h. 1).
Psikologi
evolusioner juga merupakan kritikan terhadap Model Ilmu Sosial Standar (Standard Social Science
Model, SSSM) yang dianggap ortodoks (Archer, 1996; Cosmides & Tooby, 1997). SSSM
mengibaratkan pikiran manusia sebagai tabula rasa, satu kotak kosong yang tidak berisi
apa-apa sampai pengalaman akan mengisinya. Metafora
mengenai pikiran manusia telah berubah dari kotak kosong ke switchboard dan kini sebuah komputer, namun isi pikiran
tetaplah ditentukan oleh sesuatu dari luar, yakni dari
lingkungan dan dunia sosial. SSSM juga berpandangan bahwa arsitektur pikiran manusia didominasi oleh sejumlah
mekanisme yang bersifat general-purpose dan content-independent atau
domain-general. Mekanisme yang bersifat general-purpose itu diantaranya adalah belajar, induksi,
inteligensi, imitasi, rasionalitas, dan budaya. Psikologi
evolusioner mencoba mengganti SSSM dengan menunjukkan bahwa pikiran manusia terdiri dari sejumlah besar
mekanisme yang secara fungsional bersifat khusus dan
domain specific.
Psikologi
evolusioner adalah satu pendekatan terhadap psikologi yang menerapkan pengetahuan-pengetahuan dan
prinsip-prinsip biologi evolusioner untuk meneliti
struktur pikiran manusia (Cosmides & Tooby, 1997). Menurut Cosmides dan Tooby (1997) psikologi adalah cabang
biologi yang mempelajari (a) otak, dan (b) bagaimana
program-program pemrosesan informasi otak memunculkan perilaku. Oleh karena psikologi adalah cabang biologi,
maka teori-teori, prinsip-prinsip serta observasi-observasi dalam
biologi evolusioner dapat dipergunakan untuk mempelajari psikologi. Evans & Zarate (1999) merumuskan
psikologi evolusioner sebagai kombinasi dua ilmu, yakni
biologi evolusioner dan psikologi kognitif.
No comments:
Post a Comment