TEORI POST MODERN: SEBUAH PENGANTAR
Pemakaian
istilah “modern”
secara tersirat menyatakan adanya perkembangan yang
mengikuti teori sosiologi modern. Gagasan ini tampak aneh karena kita telah terbiasa memikirkan sesuatu
yang modern itu sebagai perkembangan yang paling akhir, yang paling baru. Tetapi,
dalam beberapa dekade terakhir dan dalam
beberapa bidang yang berbeda (kesenian, arsitektur, sastra, dan sebagainya) telah terjadi sederetan perkembangan
yang dianggap ada masalah dengan modernitas
yang ingin ditunjukkan dan dijelaskan oleh pakar post modernitas.
Dalam
teori sosiologi, teori modern (dan teori klasik) masih tetap penting dan menonjol dalam disiplin ini. Tetapi post
modernisme makin penting pengaruhnya atas
teori sosiologi dan kini ada peluang untuk mengidentifikasi perkembangan perspektif teoritis dan teoritisi
post-modern. Selanjutnya, karena paling dekat dengan
kemanusiaan orang mengharapkan teoritisi sosiologi akan menjadi teori yang paling terbuka terhadap post-modernisme.
Karena setidaknya sebagian teoritisi
sosiologi makin berorientasi post-modern, kita dapat rnengharapkan bahwa sosiologi yang makin berorientasi
empiris akan semakin dipengaruhi sekurang-kurangnya
oleh beberapa teori sosial postmodernisme.
Dalam
membahas post-modernisme, kita perlu menggeser perhatian kita dari teori-teori sosiologi
ke teori-teori sosial. Meski perbedaan antara keduanya tak jelas, teori sosiologi cenderung
mencerminkan perkembangan yang sebagian besar
terjadi dalam sosiologi dan menjadi sasaran perhatian utama sosiologi. Teori sosial cenderung bersifat multidisiplin.
Sebenamya, setidaknya sebagian teori yang telah
dibahas sebelumnya, terutama teori neo-Marxisme dan teori tentang agen struktur, lebih tepat dilukiskan sebagai
teori sosial. Bagaimanapun juga, sudah jelas bahwa
teori-teori post-modern paling tepat dipandang sebagai teori sosial.
Kini
Sosiologi menghadapi situasi serupa dengan yang pernah dihadapi oleh sejumlah bidang ilmu, terutama oleh
kesenian liberal, pada dekade yang lalu:
Momen
post-modern telah tiba dan intelektual, seniman, dan pengkaji kultural yang kebingungan berpikir
apakah mereka harus ikut rombongan dan bergabung
dengan karnaval ataukah menonton di pinggir lapangan hingga mode baru itu lenyap ke dalam pusingan
mode kultural (Kellner, 1989b: 1-2)
Meski
banyak sosiolog dan teoritisi sosiologi masih menggangap post modernisme sebagai sebuah mode (dan
terus melihatnya lebih menyupai karnaval daripada
sebagai upaya ilmiah serius), faktanya adalah bahwa post modernisme tak bisa diabaikan lagi oleh teoritisi
sosiologi (Dandaneau, 2001). Dalam teori sosial masa
kini, post-modernisme telah menjadi “permainan terpanas di kota”
(Kellner, 1989b:2). Demikian
panasnya pertandingan itu sehingga seorang teoritisi menyatakan bahwa kita harus menghentikan
penggunaan istilah post modernisme itu
karena telah “letih
oleh pekerjaan yang terlalu keras” (Lemert, 1994:142). Artinya istilah itu telah disalahgunakan
baik oleh pendukungnya, oleh pencelanya, maupun
selama berlangsungnya perdebatan panas antara mereka.
Dengan
mengemukakan arti penting post-modernisme dan perdebatan panas yang ditimbulkannya, tujuannya adalah
untuk menyajikan semacam pengantar ringkas
tentang pemikiran post-modern (Antonio, 1998; Ritzer, 1997; Ritzer dan Goodman, 2001). Tetapi, ini bukan
perkara mudah. Alasannya adalah karena adanya
perbedaan besar di kalangan pemikir post-modern yang umumnya bersifat idiosinkretik itu sehingga sukar
menggeneralisasi kesamaan pendapat mereka. Smart
(1993),
misalnya, telah membedakan tiga pendirian di kalangan pemikir post-modern itu.
Pertama
atau pendirian yang ekstrim menyatakan bahwa masyarakat modern telah terputus
hubungannya dengan dan sama sekali telah digantikan oleh masyarakat post modern. Tokoh
yang berpendirian demikian
termasuk Jean Baudrillard, Gilles Deleuze dan Felix Guattari (1972/1983; Bogard, 1998; Theory,
Culture, and Society, 1997).
Kedua,
pendirian yang menyatakan bahwa meski telah terjadi perubahan, post modernisme
muncul dan terus berkembang bersama dengan
modernisme. Pendirian ini diikuti oleh pemikir Marxian
seperti
Fredric
Jameson, Ernesto Laclau, dan Chantal Mouffe, dan oleh pemikir feminis post-modern seperti Nancy Fraser
dan Linda Nicholson.
Ketiga
pendirian Smart yang lebih memandang terus-menerus menunjukkan keterbatasan
modernisme. Meski berguna, tipologi Smart ini mungkin ditolak oleh pemikir
post-modernisme lain karena terlalu menyederhanakan
perbedaan besar antara pemikiran mereka.
Meski
di kalangan pemikir kini tak ada tema yang lebih besar daripada gema "post-modern”,
namun terdapat sejumlah besar kerancuan dan kontroversi tentang apa makna sebenamya dari istilah
post-modern itu. Demi kejelasannya perlu dibedakan
antara istilah "post-modernitas” (post modernity), “post
modernism” dan “teori
sosial post modern”.
Post
modernitas mengacu pada periode historis yang umumnya
dilihat menyusul era modern.
Post
modernisme mengacu pada produk kultural (di bidang
kesenian, film, arsitektur
dan sebagainya) yang berbeda dari produk kultural modern.
Teori
sosial post modern mengacu pada cara berpikir yang berbeda dari teori sosial modern. Dengan demikian,
post-modern meliputi periode historis baru,
produk kultural baru, dan tipe baru dalam penyusunan teori tentang kehidupan sosial. Tentu saja semua ini
merupakan sebuah perspektif baru dan berbeda
mengenai peristiwa yang di tahun-tahun belakangan ini, yang tak lagi dapat dilukiskan dengan istilah “modern”,
dan perspektif mengenai perkembangan
baru yang menggantikan realitas modern.
Konsep
pertama, post modern ini terutama tertuju pada keyakinan yang tersebar luas bahwa era modern telah
berakhir dan kita memasuki periode historis baru,
post modernitas. Lemert menyatakan bahwa kelahiran post modernisme dapat dirunut sekurang-kurangnya secara
simbolis kepada:
Kematian
arsitektur modern pada jam 3:32 siang, 15 Juli 1972 saat dihancurkannya proyek perumahan Pruitt
Igoe di St. Louis. Proyek perumahan
raksasa di St. Louis ini melambangkan keyakinan arogan arsitekstur modern bahwa dengan membangun
proyek perumahan public terbesar
dan termegah ini arsitek dan perencananya dapat membasmi kemiskinan dan kesengsaraan manusia.
Dengan menghancurkan simbol gagasan
modern ini berarti mengakui kegagalan gagasan modernitas itu sendiri. (Lemert, 1990:233; mengikuti
Jencks, 1977).
Penghancuran
proyek Pruitt-Igoe mencerminkan perbedaan antara pemikir modern dan post-modern tentang persoalan
apakah mungkin ditemukan penyelesaian
rasional atas masalah masyarakat. Contoh lain, perang terhadap kemiskinan yang dicanangkan Lyndon
Johnson tahun 1960-an, adalah khas cara masyarakat
modern meyakini bahwa dapat ditemukan dan diterapkan penyelesaian rasional atas masalah kemiskinan itu.
Tak inginnya pemerintahan Reagan di tahun 1980-an
membangun program raksasa untuk mengatasi masalah kemiskinan, mencerminkan keyakinan masyarakat
post-modern bahwa tak ada jawaban rasional tunggal
untuk menanggulangi berbagai macam masalah. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa antara
pemerintahan Kennedy dan Johnson dan Reagan,
AS bergerak dari masyarakat modern ke masyarakat post-modern. penghancuran proyek Pruitt-Igoe
sebenarnya terjadi dalam jangka waktu itu.
Konsep
kedua, post-modernisme, berkaitan dengan dunia kultural dan dapat dinyatakan bahwa produk
post-modern cenderung menggantikan produk modern.
Di dunia kesenian, Jameson (1984) mempertentangkan lukisan Andy Warhol di era post-modern yang
menampilkan sosok Marilyn Monroe hampir tanpa
emosi dengan lukisan Munch modern, The Scream. Di bidang televisi, tayangan Father Knows Best merupakan
contoh yang tepat program televisi modern,
sedangkan program Twin Peak dapat dianggup dianggap sebagai contoh program post-modern. Di bidang film, The
Ten Commandment jelas digolongkan sebagai
film modern sedangkan Blade Runner sebagai karya post-modern.
Konsep
ketiga, adalah kemunculan teori sosial post-modern dan perbedaannya dengan
teori sosial modern.
Teori
sosial modern mencari landasan universal, ahistoris, dan
rasional, untuk analisisnya dan
untuk mengkritik masyarakat. Menurut Marx landasannya adalah umat manusia sedangkan
menurut Habermas, landasannya adalah nalar komunikatif.
Pemikiran
post-modern menolak "landasan ini" dan
cenderung menjadi relativistik,
irrasional dan nihilistik. Dengan mengikuti Nietzsche dan Foucault di antaranya, pemikir post modern
mempertanyakan landasan demikian, yakin bahwa landasan
itu cenderung memberikan hak istimewa terhadap kelompok tertentu dan menurunkan derajat sebagian besar yang
lainnya, memberikan kekuasaan pada kelompok
tertentu dan membuat kelompok lain tanpa kekuasaan.
Pemikir
post-modern pun menolak gagasan tentang narasi besar atau metanarrative.
Dalam penolakan atas gagasan inilah kita berhadapan dengan salah seorang pemikir post-modern paling
penting, yakni Lyotard. Lyotardlah (1984:xxiii)
yang memperkenalkan ilmu pengetahuan modern dengan sejenis sintesis umum tunggal (atau metadiscourse)
yang dapat kita hubungkan dengan karya
teoritisi seperti Marx dan Parsons. Jenis narasi besar yang ia hubungkan dengan ilmu pengetahuan modern termasuk “dialektika
spirit, the hermeneutics of meaning,
emansipasi rasional, atau penciptaan kekayaan”
(Lyotard, 1984:xxiii)
Bila
ilmu modern disamakan Lyotard dengan metanarrative maka ilmu post modern menolak narasi umum seperti itu.
Seperti dinyatakan Lyotard, “Jika disederhanakan,
saya mendefinisikan post-modern sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarratives.”
(1984:xxiv). Lebih keras lagi ia mengatakan, “marilah kita memerangi totalitas...marilah kita
menghidupkan perbedaan” (1984: 82). Kenyataannya, post-modernisme menjadi
wadah pertemuan berbagai perspektif
teoritis yang berbeda-beda: "Ilmu pengetahuan post-modern bukanlah semata-mata menjadi
alat penguasa; ilmu pengetahuan post-modern
memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan
kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan”
(1984:xxv).
Dalam
pengertian ini sosiologi sudah bergerak keluar periode modern, masuk ke dalam periode post-modern dalam
upayanya mencari formula sintesis yang lebih khusus.
Menurut pandangan Fraser dan Nicholson, Lyotard lebih menyukai narasi tentang modernitas yang
lebih sempit, berukuran setempat ketimbang
metanarasi atau narasi besar dari modemitas (1988: 89). Sintesis baru ini mungkin dapat dilihat sebagai contoh
narasi sosiologi yang “kecil” dan "setempat" yang dimaksud Lyotard
itu.
Sementara
Lyotard menolak narasi besar secara umum Baudrillard menolak gagasan narasi besar
dalam sosiologi. Di satu sisi Baudrillard menolak seluruh gagasan tentang
kehidupan sosial. Dengan menolak gagasan tentang
kehidupan sosial, menyebabkan ia menolak metanarrative sosiologi yang dihubungkan dengan modernitas:
...prinsip
pengorganisasian besar, narasi besar tentang kehidupan sosial yang menemukan dukungan dan pembenarannya
dalam gagasan tentang kontrak rasional,
masyarakat sipil, kemajuan, kekuasaan, produksi yang kesemuanya ini menunjuk pada sesuatu yang pernah
ada tetapi kini sudah tak ada. Era perspektif
tentang kehidupan sosial (yang berkaitan erat dengan periode yang terkenal sebagai modernitas)...sudah
berlalu (Bogard, 1990:10).
Jadi,
post-modern menolak metanarrative umumnya dan menolak narasi besar dalam sosiologi khususnya.
Teori
sosial post-modern untuk sebagian besar bukan produk sosiolog (Lyotard, Derrida, ]ameson bukan
sosiolog). Di tahun belakangan ini sejumlah sosiolog
mulai berkarya menurut perspektif post-modern, dan post-modernisme hingga taraf tertentu dapat dipandang
sebagai bagian dari tradisi sosiologi klasik. Ambil
contohnya penafsiran ulang karya Simmel berjudul Post-modernized Simmel (Weinstein
dan Weinstein, 1993;1998). Weinstein dan Weinstein mengakui adanya alasan kuat untuk menyatakan
bahwa Simmel sebagai seorang modernis liberal,
mengemukakan narasi besar tentang kecenderungan sejarah menuju dominasi kultur objektif menuju
"tragedi kultur". Tetapi, mereka pun menyatakan adanya alasan kuat untuk mengakui
pemikiran Simmel sebagai post-modern. Dengan
demikian, mereka mengakui bahwa kedua alternatif mempunyai validitas dan pemikiran
modern tak berarti lebih benar daripada post-modern atau sebaliknya. Mereka
selanjutnya menyatakan, “menurut kami ‘modernisme’ dan
‘postmodernisme’
bukanlah pilihan eksklusif, tetapi dua bidang yang
batasnya tak bersambungan satu sama lain”
(1993:21). Mereka pun menyadari
bahwa mereka dapat menafsir ulang pemikiran Simmel sesuai dengan pemikiran modern tetapi menafsirkannya
menurut post-modernis jauh lebih bermanfaat.
Karenanya mereka mengekspresikan pandangan yang sangat post-modern: "Tidak ada Simmel
esensial, hanya Simmel-Simmel yang berbeda-beda
yang dibaca melalui beragam pandangan di dalam formasi diskursus
kontemporer"
(Weinstein dan Weinstein, 1993:55).
Alasan
Weinstein dan Weinstein menyatakan Simmel sebagai pemikir postmodern karena Simmel menentang
totalisasi dan ia cenderung berpandang detotalisasi
modernitas. Ia sebenarnya seorang penulis esai, pencerita sejarah, meski ia menyusun teori “tragedi
kultur”.
Ia lebih banyak menjelaskan berbagai masalah
khusus ketimbang menerangkan totalitas kehidupan sosial.
Simmel
juga dideskripsikan sebagai seorang “pemalas”.
Lebih khusus lagi, dilukiskan
sebagai sosiolog pemalas yang membuang-buang waktunya untuk menganalisis sejumlah besar fenomena
sosial. Ia tertarik pada berbagai fenomena sosial
itu karena kualitas estetikanya; seluruh fenomena sosial yang ada itu dianalisisnya untuk "merangsang,
mengherankan, menyenangkan, atau untuk kesenangan
dirinya" (Weinstein dan Weinstein, 1993:60). Simmel dideskripsikan membuang-buang kehidupan intelektualnya
dengan mengembara dari menjelaskan satu
fenomena sosial ke fenomena sosial lain karena dorongan keinginannya sendiri. Pendekatan ini menyebabkan
Simmel terhindar dari pandangan totalitas terhadap
kehidupan dan memusatkan perhatian terhadap sejumlah unsur kehidupan itu.
Simmel
pun dilukiskan sebagai “tukang intelektual” (bricoleur),
yang mengerjakan sesuatu berdasarkan bahan
yang tersedia padanya. Dihadapannya tersedia
berbagai fragmen kehidupan sosial atau "serpihan kultur objektif". Selaku tukang ahli, Simmel merangkum gagasan
apapun yang ia temukan untuk menjelaskan
dunia sosial.
Kiranya
tak perlu membahas terlalu rinci interpretasi Weinstein dan Weinstein tentang pemikiran post-modern
Simmel ini. Yang jelas, interpretasi seperti
itu sama masuk akalnya dengan pandangan modern. Akan jauh lebih sukar menemukan pandangan post-modern yang
serupa dari teoritisi klasik utama lainnya,
walaupun orang tentu akan dapat menemukan aspek-aspek pemikiran mereka yang bersesuaian dengan
post-modernisme. Begitulah, seperti dijelaskan Seidman
(1991), sebagian besar teori sosiologi adalah buatan teoritisi modern, tetapi ada isyarat post-modern dalam
kebanyakan pemikiran teoritisi modern itu (lihat
juga diskusi tentang Weber dan post-modernisme dalam Gane, 2002).
Tempat
lain untuk mencari berita tentang post-modernisme adalah di antara kritik atas teori modern dalam teori
sosiologi. Seperti telah ditunjukkan oleh beberapa
pengamat (Antonio, 1991; Best dan Kellner, 1991; Smart, 1993) posisi kunci diduduki oleh C. Wright Mills (1959).
Pertama
Mills sebenarnya menggunakan istilah “post-modem”
untuk melukiskan era pasca pencerahan yang
kita masuki: "Kita berada di penghujung
dari apa yang disebut abad modern...abad modern digantikan oleh periode post-modern”
(Mills, 1959:165-166).
Kedua,
ia
adalah pengkritik keras teori besar (grand theory) modern dalam sosiologi, terutama seperti yang
dipraktikkan oleh Parsons.
Ketiga, Mills
menginginkan sosiologi menghubungkan masalah publik yang besar dengan persoalan pribadi yang
khusus.
Meski
ada isyarat post-modernisme dalam karya Simmel dan Mills (dan teoritisi lainnya), namun dalam karya
mereka itu tak kita temukan teori post modern
itu sendiri. Sebagai contoh Best dan Kellner berpendapat bahwa Mills adalah "teoritisi modern yang
membuat generalisasi sosiologi yang luas, meneliti sosiologi dan sejarah, dan percaya atas
kekuatan imajinasi sosiologi untuk penjelaskan
realitas sosial dan untuk mengubah masyarakat”
(1991:8). Berdasarkan latar
belakang yang umum ini, kita akan membahas teori sosial post modern secara lebih kongkret.
untuk isi blognya sudah bagus sih, cuma blog ini terlalu banyak konten yg tidak perlu jadi ketika dibuka linknya lama, saran saja sih lebih baik tampilan blognya sederhana dengan isi yg berkualitas :)
ReplyDeletekak, Smart itu siapa yah? nama pemikir apa hanya istilah?
ReplyDeleteyang tipologi Smart itu