TEOLOGI
PIERRE TEILHARD DE CHARDIN
a) Profil
Pierre Teilhard de Chardin lahir di daerah pedalaman
Perancis pada tahun 1881. Ia belajar di sekolah Yesuit Jesuit college of Mongré,
di mana ia meraih gelar sarjana muda bidang filosofi dan matematika. Pada tahun
1899 ia mengikuti pencalonan pendeta Yesuit, saat ia memulai karir sebagai ahli
filosofi, teologi, dan spiritual, dan diangkat menjadi pendeta pada tahun 1911,
di usia 30 tahun.
Teilhard
mempelajari teologi di Hastings, Sussex, Inggris dari tahun 1908-1912. Di sana
ia mensitesis pengetahuan ilmiah,filosofi, dan teologinya berdasarkan teori
evolusi. Pada tahun 1912-1914 Teilhard bekerja di laboratorium paleontologi Musée
National d'Histoire Naturelle di Paris, dan fokus pada mamalia pada periode
tertier. di Ia menjadi paleontologi professional (peneliti binatang dan
tumbuh-tumbuhan yang telah punah) sehingga mengakibatkan perhatiannya tertuju
pada asal-usul manusia. Teilhard terkenal karena maha karyanya The Phenomenon of Man (Le Phénomène Humain,
1955) yang merefleksikan evolusi
makhluk hidup khususnya manusia dari sisi iman Katolik. Ia pun terlibat dalam
penemuan Manusia Peking pada tahun 1929.
b) Pemikiran
Teilhard de Chardin tentang Evolusi
Antara Agama dan Evolusi
Teori
Evolusi Darwin yang diuraikan dalam karyanya tahun 1859, The Origin of Species (Asal-usul Spesies) dan pada tahun 1871 The Descent of Man (Keturunan Manusia)
memberi para teolog tiga pilihan dasar. Pertama, mereka dapat menolak teorinya,
pilihan yang hanya dipilih oleh sejumlah kecil saja seperti juga sekarang ini.
Kedua, mereka dapat berusaha menyesuaikan ilmu evolusi dengan teologi Kristen
tradisioanal. Ini menjadi pilihan mayoritas, walaupun ada yang lebih
mempertahankan ortodoksi, ada juga yang kurang mempertahankannya. Ketiga,
mereka dapat menafsirkan kembali teologi Kristen menurut teori evolusi.
Teilhard de Chardin tertarik pada hubungan agama Kristen dengan pemikiran
evolusi. Pandangan Teilhard de Chardin termasuk penafsiran kembali radikal yang
paling terkenal. Teologinya mirip dengan Teologi Proses pihak Protestan.
Berbeda
dengan pembahasan Darwin yang berhenti pada tataran fisiologis atau segi
jasmani makhluk hidup, seperti perkembangan tulang dahi pada manusia mulai dari
yang rata hampir datar hingga tegak seperti sekarang ini, karya Teilhard tidak
hanya menyentuh apa yang jasmaniah, ketubuhan, tetapi sampai pada yang
rohaniah. Bagaimana kesadaran manusia muncul, bagaimana kesadaran itu berevolusi
terus sampai pada titik akhir, apa yang menjadi landasan evolusi itu, dan
bagaimana keyakinan Teilhard bahwa penciptaan manusia tidak akan berakhir pada
suatu kesia-siaan belaka, dibahas dalam maha karyanya itu.
Kesadaran
Teilhard
membagi sejarah alam (baca: Bumi) dalam tiga tahap besar, yaitu:
1. Geogenesis atau terjadinya bumi dengan segala
unsur-unsur kimia di dalamnya
2. Biogenesis atau lahirnya makhluk hidup di
muka bumi
3. Noogenesis atau lahirnya kesadaran pada
makhluk hidup yang disebut manusia.
Biogenesis
menghasilkan lapisan yang disebut sebagai biosfer yaitu tataran alam jasmani
makhluk hidup yang bertubuh, sementara noogenesis membentuk lapisan noosphere
atau kesadaran. Yang dimaksud sebagai kesadaran di sini adalah kesadaran dengan
intensitas setara dengan kesadaran pada manusia. Dengan demikian evolusi bumi
tidak hanya berhenti pada berkembangnya variasi makhluk hidup dari hewan bersel
satu menjadi hewan bersel banyak dan kompleks seperti semut, gajah, atau
manusia. Evolusi berlangsung pada tataran yang kasat mata, yaitu kesadaran.
Oleh Teilhard, kesadaran disebut sebagai hakikat batin. Menurut Teilhard, kesadaran
mempunyai tiga ciri utama, antara lain:
1. Kemampuan memusatkan segala sesuatu pada
sebagian saja dari dirinya. Proses mendengar dan melihat secara bersamaan
adalah suatu kemampuan untuk memusatkan apa yang terjadi di luar diri kepada
mata dan telinga.
2. Kemampuan memusatkan diri pada dirinya
sendiri secara teratur dan bertahap, misalnya dalam proses belajar.
3. Kemampuan untuk dipersekutukan dengan semua
kesadaran lain yang mengelilingi dirinya. Hal ini terlihat misalnya dalam
kesadaran kita akan kebersamaan dengan orang-orang lain.
Evolusi Fisik adalah Evolusi Kesadaran
Evolusi
makhluk hidup dalam ranah jasmani, menurut Teilhard, berkaitan erat dengan
evolusi kesadaran pada ranah rohani. Diyakininya bahwa kesadaran sudah ada pada
tingkat hewan bersel tunggal, dan bahkan pada benda-benda mati hanya saja
intensitas sangat rendah dibandingkan dengan kesadaran pada makhluk-makhluk
tinggi. Semakin tinggi kompleksitas suatu makhluk semakin tinggi pula tingkat
kesadarannya. Mengenai hal ini, banyak orang sulit mengerti. Teilhard
mendasarkannya pada kenyataan yang diterima oleh banyak ahli biologi bahwa pionir
pertama di bumi ini adalah semacam molekul-molekul besar yang membentuk
struktur sel makhluk hidup.
Sebagai
ilmuwan yang ikut serta dalam banyak ekspedisi arkeologi mulai dari Afrika,
Burma, Jawa, hingga daratan China, Teilhard mengamati secara seksama perubahan
sistem syaraf dan otak makhluk hidup khususnya manusia dari satu spesies ke
spesies berikutnya. Ada dua unsur utama yang menjadi tolok ukur kemajuan. Yang
pertama adalah sistem syaraf yang semakin sempurna dan terpusat, dan yang kedua
adalah otak yang menjadi lebih besar dan rumit. Keduanya hanyalah perubahan
pada tingkat fisiologis, namun baik otak maupun saraf adalah organ yang
memungkinkan akan hadirnya kesadaran. Ini semakin menguatkan pendapatnya bahwa
evolusi pertama-tama bukan perubahan dan perkembangan tataran jasmani tetapi
tataran rohani, yaitu adanya kehendak yang kuat dari kesadaran untuk mencapai
puncak evolusinya.
Perjuangan
untuk tetap hidup dan seleksi alam seperti diterangkan Darwin memegang peran
penting dalam evolusi, tetapi perkembangan kehidupan menuju bentuk yang lebih
kompleks dari makhluk bersel tunggal menjadi bersel banyak hanya mungkin
diterangkan dengan adanya hakikat batin yang terus berevolusi. Kesadaran atau
hakikat batin itu tahu memilih mana yang paling menguntungkan untuk
kelangsungan hidup dirinya dan kelangsungan hidup spesiesnya dari berbagai
kemungkinan yang ada. Kesadaran harimau untuk bertahan hidup di tengah-tengah
dunia hewan mendorongnya untuk memperkembangkan taring yang panjang dan kuku
yang kokoh. Selain dipakai untuk pertahanan diri, kuku dan taring itu berguna
untuk berburu demi kelangsungan hidupnya.
Pada
spesies manusia, perkembangan fisik luaran tidaklah semaju hewan-hewan buas di
padang belantara. Manusia tidak mengembangkan cakar, tanduk, hidung yang
panjang, atau taring. Hakikat batinnya mengarahkan perkembangan pada
penyempurnaan otak dan sistem syaraf sehingga kesadaran manusia melompat jauh
meninggalkan makhluk-makhluk lainnya. Dalam pencapaian ini manusia mencapai
lapisan yang lebih tinggi daripada sekadar biosphere, yaitu noosphere. Apa yang
menjadi kelebihannya adalah kesadarannya tidak sekadar membantunya untuk
melihat hal-hal di luar dirinya tetapi juga bisa melihat ke dalam dirinya
dengan mempertanyakan siapa dirinya. Manusia adalah bagian dari kosmos yang
mencapai puncak evolusi. Di dalam diri manusia inilah “kesadaran” kosmos
melihat dirinya sendiri seperti memandang sebuah cermin untuk pertama kalinya.
Seperti
halnya tanduk, cakar, taring digunakan untuk mempertahankan diri dan
melangsungkan hidup, kesadaran manusia yang “lebih” yang disebut sebagai
pikiran adalah alat yang membantu manusia untuk mempertahankan hidupnya serta
kelangsungan spesiesnya. Dengan kemampuan inilah, seluruh gerak evolusi tahap
demi tahap sejak bumi dijadikan menjadi berarti. Semuanya itu telah disiapkan
untuk memungkinkan makhluk yang dinamakan manusia ini hadir.
Titik Omega
Sebagai
puncak evolusi apakah manusia berhenti berevolusi? Teilhard mengatakan bahwa
evolusi tidak berhenti. Karena kesadaran kosmos ini telah naik sampai ke
kesadaran dalam diri manusia, maka ke arah masa depan, manusia mengikuti alur
yang sama. Arahnya tidak kepada pengerusakkan pribadi manusia tetapi ke suatu
super pribadi, yaitu suatu pemusatan yang lebih tinggi pada kerohaniannya.
Teilhard menyebut sasaran evolusi ini adalah titik omega.
Sulit
dibayangkan mengenai titik omega ini sesungguhnya, juga bila kita telah membaca
maha karyanya. Pada saat ini, titik omega hanya bisa dibayangkan sebagai
keadaan pribadi manusia di masa depan di mana kesadaran mencapai titik
maksimumnya. Teilhard menyebutnya sebagai ego super pribadi di dalam kedalaman
massa yang berpikir. Olehnya, manusia menjadi terhubungkan dengan sesamanya dan
terjadilah keseimbangan yang sempurna dari persatuan umat manusia. Meski
demikian pribadi manusia sebagai persona yang otonom tidak larut dalam
persatuan sempurna ini melainkan mencapai puncak perkembangan yang
sungguh-sungguh personal. Ini berbeda sekali dengan konsep dalam Hinduisme dan
panteisme, di mana yang individual kehilangan personalitasnya dalam “lautan
Semesta”.
Karena
Titik Omega adalah horizon di masa depan yang menjadi tujuan seluruh evolusi
kosmos, tentu ada energi yang menggerakannya. Energi itu adalah cinta kasih.
Dalam bahasa ilmu alam, kata cinta kasih terasa konyol. Bagaimana cinta kasih
dapat dibuktikan secara empiris? Justru menurut Teilhard cinta kasih itu nyata
dalam setiap unsur yang membentuk alam semesta. Cinta kasih bukan hanya sebatas
keterpautan/daya tarik antara makhluk dengan makhluk dan bukan khas dalam
manusia saja. Cinta kasih adalah ciri
umum dari seluruh kehidupan dan karena itu ia mencakup segala jenis, tingkat,
dan bentuk yang diambil oleh materi yang tertata (terorganisasi).
Pada
tingkat manusia dan mamalia, cinta kasih mengambil bentuk yang mudah dikenali,
tetapi semakin rendah atau sederhana suatu kehidupan, cinta kasih semakin sulit
dikenali, hampir tak terlihat. Mengingat kehadirannya yang mudah dikenali pada
kompleksitas materi yang semakin tinggi—yang merupakan kesatuan dari tingkat
yang sederhana—dapatlah dipastikan bahwa kekuatan cinta kasih (potensi cinta
kasih) sudah hadir dalam objek-objek dasar seperti molekul atau atom-atom.
Bentuknya dapat hadir dalam gerak benda, lengkungan ruang waktu, gaya gravitasi
benda-benda, dan semacamnya.
Karena
itulah, cinta kasih tidak kurang dan tidak lebih adalah jejak-jejak yang secara
langsung tertera pada pusat unsur-unsur oleh pertemuan alam semesta secara
fisik (jasmani) pada dirinya sendiri. Cinta kasihlah yang mampu sedemikian rupa
mempersatukan makhluk-makhluk hidup sehingga mengutuhkan dan menggenapkan
mereka. Cinta kasihlah yang menggerakkan dan menggabungkan mereka dengan yang
terdalam pada diri mereka.
Penghambat Evolusi
Bentuk
evolusi adalah bahwa manusia terus menerus mengalami kemajuan dari waktu ke
waktu, misalnya dalam segi intelektual, sosial, dan budaya. Semuanya mengarah
pada titik Omega. Meski demikian, ada kekuatan yang menghambat gerak evolusi
dan ini harus dihadapi. Hambatan itu, menurut Teilhard, adalah kekuatan penolakan
dan materialisasi.
Penolakan
terjadi ketika manusia yang berkesadaran belum mampu menyusup ke dalam daya
tarik internal. Manusia menutup diri satu sama lain, enggan melihat kebersamaan
sebagai sesuatu yang berharga bagi perkembangan dirinya. Perang dan
ketidakpedulian adalah bukti nyata adanya penolakan. Agaknya ini tidak terjadi
jika kebersamaan mereka membentuk suatu materialitas baru yang berdasar pada
ideologi tertentu. Perlu diingat bahwa pada masa hidupnya, Teilhard menyaksikan
kelahiran kelompok massa berideologi seperti komunisme, sosialisme, dan
nasional sosialisme (Nazi). Tetapi perlu diingat materialitas tetap mengandung
sisi buruk juga.
Materialisasi
terjadi ketika suatu kesadaran pribadi masuk dalam proses penyatuan pada suatu
kelompok persona-persona lain, dan menjadi massa manusia. Seperti dalam bentuk
kehidupan pada umumnya, manusia, supaya menjadi sungguh manusia, haruslah ia
menjadi legion. Artinya adalah menjadi satu dengan yang lain, membentuk
sekelompok massa yang besar. Di sini individu kehilangan personalitasnya dan
tergantikan dengan materi baru, yaitu ideologi. Gerakan massa seperti itu
berakhir keterbelengguan individu dan lenyapnya personalitas. Jelaslah ini
bukan sasaran evolusi menuju titik omega yang dimaksud oleh Teilhard.
Ada
sejumlah usaha yang mendukung perkembangan evolusi. Pokok usahanya adalah
melihat dengan cara baru bagaimana dorongan menuju persatuan manusia sebenarnya
berjalan beriringan dengan perkembangan sisi personal individu manusia. Evolusi
perlu dimengerti sebagai pendakian menuju kesadaran, dan kesadaran berkembang
menjadi kemahasadaran. Di atas kita telah melihat bahwa salah satu sifat
kesadaran adalah kemampuan untuk dipersekutukan dengan semua kesadaran lain
yang mengelilinginya. Secara empiris kita dapat mengalami bangunan kolektif
manusia di mana setiap orang ikut ambil bagian dalam bangunan itu melalui ilmu
pengetahuan, filsafat, dan semacamnya. Maka dari itu, pertentangan antara yang
pribadi dan yang semua akan lenyap pelan-pelan andai saja struktur noosphere
(lapisan kerohanian) dipahami sebagai
yang memusat bukan yang tertutup.
Dalam
konteks evolusi kesadaran, ruang-waktu adalah sesuatu yang mengatasi manusia
karena dari padanya dan di dalamnya manusia tumbuh dan berkembang mulai dari
bentuk yang sederhana menuju yang kompleks. Karena itu, yang semesta,
universal, kolektif (seperti ruang-waktu) itu, tumbuh bersama-sama dengan yang
pribadi dan kelak mencapai puncaknya, yaitu titik omega.
Kristus dalam Segala sesuatu
Di
akhir bukunya yang ditulis di China dari Juni 1938 hingga Juni 1940, Teilhard
berpaling pada fenomena Kristus; Kristus dalam segala sesuatu. Untuk memahami yang satu ini, ada proses
bertahap yang panjang. Pada tahap pertama, kenyataan alam semesta, dari sudut
kekuatan-kekuatan ilahi-alamiah disebabkan oleh kehendak ilahi yang dimengerti
sebagai suatu energi khas yang merasuk, menghidupkan yang ada, serta mengarakan
mereka pada tujuan akhir evolusinya. Pada tahap kedua, tindakan kreatif Tuhan
sesungguhnya adalah unsur universal dari seluruh ciptaan. Tuhan adalah roh
segala sesuatu yang bergerak, dan penyokong “keberadaan” (eksistensi) segala
sesuatu. Ciptaan memuncak secara kualitatif dalam manusia dan menyempurnakan
dirinya dengan cara kembali pada Tuhan. Pada tahap terakhir, kenyataan alam
semesta adalah Tuhan-menjadi-Manusia, atau dengan kata lain titik Omega. Ini
tidak lain adalah pengaruh hidup kosmis Kristus. St. Paulus dan St. Yohanes
sudah mengatakan bahwa Kristus adalah pusat segala ciptaan.
Kristus
dalam Segala Ciptaan harus dipahami pertama-tama dari sudut pandang ciptaan.
Setiap ciptaan terbangun dari tiga unsur pokok; yang pertama adalah material
ragawi individual yang membangun tubuh
(raga); yang kedua adalah material rohani individual yang membangun jiwa; dan
yang ketiga adalah sesuatu yang terkait dengan Kristus. Sesuatu ini adalah
semacam relasi atau keterkaitan dengan Kristus yang bagi setiap individu
memberikan personalitas paripurna serta nilai ontologis seutuhnya. Dengan
demikian setiap ciptaan ditarik dan terfokus pada Kristus dan dengan demikian
mendapatkan kepenuhan di dalam-Nya.
Mengapa
ada penambahan unsur yang ketiga? Karena Kristus adalah pusat segala ciptaan,
dan Dialah yang memberi hidup kepada seluruh ciptaan di alam semesta ini. Dalam
rangka eskaton, Kristus kosmis ini sudah hadir di dunia tetapi masih terus ada
dalam suatu proses panjang perkembangan dalam dunia ini, entah dipahami dalam
rangka individu-individu ataupun dalam rangka suatu kesatuan rohani manusia.
Beberapa
pandangan Teilhard de Chardin tidak disenangi atasannya dari ordo Yesuit. Ia
terus-menerus dilarang menerbitkan tulisan-tulisan teologis dan filsafatnya,
dan ia patuh. Ia juga tidak diijinkan menjadi guru besar di College de France,
suatu kehormatan besar. Tetapi pada waktu meninggalnya di tahun 1955
teman-temannya mulai menerbitkan karyanya. Yang terkenal adalah Gejala Manusia,
Lingkungan Ilahi dan Masa Depan Manusia, yang diterbitkan dalam bahasa Perancis
dari tahun 1955 sampai 1959. Pada masa Konsili Vatican Kedua, ketika terdapat
sikap terbuka yang baru terhadap pemikiran modern, de Chardin menjadi sangat
populer di kalangan Katolik-Roma. Akan tetapi popularitasnya kemudian memudar.
Pemikirannya juga diterima positif oleh beberapa pemikir non Kristen. Pemikir
agnostic Julian Huxley menyumbangkan Kata Pendahuluan yang simpatik pada
terjemahan Inggris dari bukunya Gejala Manusia. Teilhard De Chardin melihat
evolusi sebagai hukum keberadaan semesta alam, begitu juga
pandangan-pandangannya mengenai Kekristenan disesuaikan. Ini menghasilkan
penafsiran kembali yang menarik dari banyak tema Kristen, sebagai berikut:
1)
Penciptaan dilihat sebagai suatu proses evolusi. Dosa diinterpretasikan kembali
sebagai ketidaksempurnaan yang tak terelakkan yang selalu menyertai proses
evolusi. Evolusi dan kesempurnaan tidak cocok, sama seperti ide lingkaran
berbentuk segi empat tidak cocok. Kejahatan harus dilihat sebagai hasil
sampingan dari evolusi. Seperti diamati tepat sekali oleh Huxley, “para teolog
mungkin akan menganggap bahwa pembahasannya tentang dosa dan penderitaan tidak
memadai atau sekurang-kurangnya tidak ortodoks.”
2)
De Chardin tidak menolak pandangan tradisional tentang Kristus yang historis
sebagai Anak Tuhan yang menjelma. Tetapi ia lebih menitikberatkan Kristus yang
kosmis. Kristus seutuhnya atau tubuh Kristus yang mistik berkembang di dalam
kerangka evolusi manusia. Penebusan harus dilihat sebagai proses evolusi ini.
3)
Sejarah manusia berkembang ke arah klimaks kalau semua disempurnakan dalam
Kristus. Ini oleh de Chardin disebut dengan istilah “titik Omega.”
4)
Semuanya ini meunjukkan konsep baru tentang Tuhan sebagaimana dalam Teologi
Proses. Tuhan harus dilihat bukan sebagai tak berubah dan melebihi batas-batas
dunia, tetapi aktif dan terlibat di dalam proses evolusi, bahkan tidak terlepas
darinya.
Teilhard
de Chardin berusaha keras menghubungkan kekristenan dengan pemikiran evolusi.
Cita-citanya dapat dibandingkan dengan usaha Agustinus yang menghubungkan
Kekristenan dengan Neo-Platonisme atau dengan usaha Thomas dari Aquino dengan
ajaran Aristoteles. Akan tetapi de Chardin memberi tempat yang terlalu besar
pada pemikiran evolusioner, sehingga unsur Kristen terdesak. Ia sendiri melihat
pemikirannya sebagai percobaan dan dimaksudkan untuk memperluas pandangan,
bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan secara tuntas. Boleh jadi ia dapat
disamakan dengan Origines, pelopor besar dan pemikir yang gagasan-gagasannya
tidak dapat diterima begitu saja.
Analisa
Pemikiran Teologi Pierre Teilhard de Chardin
Berdasarkan
penjelasan di atas tampaklah bahwa Teilhard de Chardin memfokuskan pemikiran
teologinya di bidang Teologi Dogma, khususnya bidang Antropologi Teologis,
yaitu membahas tentang siapakah manusia menurut rencana Tuhan Pencipta. Dia
juga membahas di cabang Kristologi, yaitu membahas apa dan siapa Yesus Kristus.
Dia menghubungkan kekristenan dengan teori evolusi. Dia memberikan penafsiran
baru teologi Kristen menurut teori evolusi, misalnya tentang penciptaan, dosa,
kristus, sejarah manusia, dan Tuhan.
No comments:
Post a Comment